Rabu, 04 April 2012

Yang Berhak Menetukan Kehalalan


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keingintahuan masyarakat tentang kehalalan makanan atau minuman yang dikonsumsinya  sangatlah besar. Maka dari itu pemerintah wajib melindungi masyarakat akan kehalalan makanan ataupun minuman yang dikonsumsinya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan tulisan ini untuk memenuhi keigintahuan masyarakat akan siapa yang berhak menetukan kehalalan makan ataupun minuman yang dikonsumsinya. Selain itu, tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas Aspek Hukum Dalam Ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Halal dan MUI
Halal (halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.
Sejarah perkembangan kehalalan di Indonesia bermula dari beberapa kasus. Salah satunya adalah kasus lemak babi pada tahun 1988 yang kemudian berkembang menjadi isu nasional dan berdampak pada perekonomian. Sehingga akhirnya pada tahun 1989 didirikanlah LP POM MUI oleh Majelis Ulama Indonesia.
Khusus di Indonesia, konsumen Muslim dilindungi oleh lembaga yang secara khusus bertugas untuk mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen Muslim di Indonesia. Lembaga ini adalah Lembaga Pengawasan dan Peredaran Obat dan Makanan – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga ini mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya. Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen Muslim.
Produk-produk yang mendapat pertimbangan utama dalam proses pemilihannya berdasarkan ketentuan Syariat yang menjadi tolok ukur untuk konsumen Muslim adalah produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat Muslim untuk mengkonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan begitu akan ada produk yang pilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk memasuki pasar umat Muslim. Konsumen Muslim sendiri juga bukan tanpa kesulitan untuk memilah produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan produk.
Adanya LPPOM-MUI dapat membantu masyarakat memudahkan proses pemeriksaan kehalalan suatu produk. Dengan mendaftarkan produk untuk diaudit keabsahan halal-nya oleh LPPOM-MUI sehingga produknya bisa mencantukan label halal dan hal itu berarti produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi ummat Muslim dan hilanglah barrier nilai yang membatasi produk dengan konsumen Muslim. Hal ini berarti peluang pasar yang sangat besar dapat terbuka.
Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal pada kemasannya. Secara teori maka, untuk para pemeluk agama Islam yang taat,pilihan produk makanan yang mereka pilih adalah makanan halal yang diwakili dengan label halal.
Seiring dengan pesatnya perkembangan media dewasa ini, arus informasi yang dapat diperoleh konsumen akan semakin banyak dan turut pula mempengaruhi pola konsumsi mereka. Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang menginformasikan kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. Dengan demikian produk-produk yang tidak mencantukam label halal pada kemasannya dianggap belum mendapat persetujuan lembaga berwenang (LPPOM-MUI) untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau dianggap masih diragukan kehalalannya. Ketidakadaan label itu akan membuat konsumen Muslim berhati-hati dalam memutuskan untuk mengkonsumsi atau tidak produk-produk tanpa label halal tersebut.
Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Dirjen POM (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan) Departemen Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para produsen-produsen produk makanan untuk mencantumkan label tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) dari produk makanan tersebut. Dengan begitu konsumen dapat memperoleh sedikit informasi yang dapat membantu mereka untuk menentukan sendiri kehalalan suatu produk. Kondisi masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produk-produk makanan yang beredar dipasar, namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka konsumsi selama ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang sangat jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal atau tidak jelas kehalalannya (syubhat). LPOM MUI memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada kemasannya dengan demikian masyarakat dapat mengkonsumsi produk tersebut dengan aman.
Kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM-MUI memberikan sertifikat halal kepada produsen-produsen obat dan makanan yang secara sukarela mendaftarkan produknya untuk diaudit LPPOM-MUI. Dengan begitu produk yang beredar dikalangan konsumen Muslim bukanlah produk-produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak produk-produk yang beredar dimasyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili dengan label halal yang ada pada kemasan produknya. Dengan demikian konsumen Muslim akan dihadapkan pada produk-produk halal yang diwakili dengan label halal yang ada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya sehingga diragukan kehalalan produk tersebut.
Dalam undang-undang negara sendiri terdapat 3 regulasi tentang halal:
  1. UU RI No.7 Tahun 1996 (Tentang Pangan) dimana dalam Pasal 30
    • Wajib mencantumkan label.
    • Isi Label mencakup: nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat atau isi bersih, nama dan alamat produsen, keterangan tentang halal, tanggal dan bulan kadaluarsa.
  2. Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999: Definisi pangan halal (pasal 1 ayat 5) adalah Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
  3. Joint FAO/WHO Food Standards Programme Codex Alimentarius Commission CAC/GL 24-1997 1: yaitu salah satu organisasi dunia yang mengatur tentang Term of 'Halal'.
Seperti yang termaksud dalam Al Qur'an, Surat HR Bukhari:
"Siapa yang menahan diri memakan makanan haram Allah akan selalu menolongnya"
Surmber Referensi :
                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar